Aneh! Harga Emas Melonjak Hampir 1% di Tengah Was-Was Inflasi

PT KP Press – Harga emas menguat tajam di tengah penantian pelaku pasar akan data inflasi Amerika Serikat (AS). Salah satu penopang emas adalah risalah Federal Open Market Committee (FOMC). Risalah tersebut mencerminkan sikap bank sentral Amerika Serikat (AS) The Federal Reserve (The Fed) yang akan hati-hati dalam menentukan kebijakan ke depan.

Pada perdagangan Rabu, 11 Oktober 2023, harga emas di pasar spot ditutup di posisi US$ 1.873,61 per troy ons, mengalami kenaikan sebesar 0,72%. Hal ini menjadikan harga emas mencapai level tertinggi sejak 27 September 2023, dalam 10 hari perdagangan terakhir. Penguatan ini juga menjadi kabar baik setelah emas sempat mengalami pelemahan pada Selasa.

Pada Kamis, 12 Oktober 2023, harga emas masih mengalami kenaikan tipis sebesar 0,009%. Hal ini terjadi seiring dengan melandainya imbal hasil obligasi pemerintah Amerika Serikat (US Treasury) yang turun ke 4,59% pada perdagangan sebelumnya dari 4,78% pada akhir pekan sebelumnya.

Risalah pertemuan Federal Open Market Committee (FOMC) menunjukkan bahwa pejabat The Fed melihat bahwa kenaikan suku bunga akan memberikan dampak ganda kepada ekonomi AS. Meskipun ada persetujuan bahwa suku bunga tinggi dalam jangka panjang tetap diperlukan selama inflasi belum mencapai kisaran 2%, kenaikan suku bunga akan tetap terbatas.

Risalah juga mencerminkan perbedaan pandangan yang tajam di kalangan pejabat The Fed mengenai tambahan kenaikan suku bunga. Sebagian besar partisipan melihat satu lagi kenaikan di masa depan sebagai keputusan yang tepat, sementara sebagian lainnya merasa tidak perlu ada kenaikan.

Ketidakpastian ekonomi AS, dinamisnya data ekonomi AS, dan ketatnya pasar keuangan membuat The Fed lebih berhati-hati. Pasar kini melihat bahwa The Fed mungkin telah beralih fokus dari seberapa banyak kenaikan suku bunga ke seberapa lama suku bunga tinggi akan dipertahankan.

Risalah juga mencatat bahwa pejabat The Fed kini tidak hanya mempertimbangkan dampak inflasi, tetapi juga ancaman harga komoditas energi global serta pangan. Perlambatan ekonomi global, pemogokan masal pekerja di industri otomotif, dan ketatnya pasar keuangan menjadi faktor-faktor yang dapat mengancam ekonomi AS.

Analisis oleh Ole Hansen dari Saxo Bank menjelaskan bahwa risalah The Fed mengindikasikan bahwa The Fed akan berhati-hati. Terlebih, dampak kenaikan suku bunga sudah terasa di pasar keuangan.

Pelaku pasar saat ini menantikan data inflasi AS untuk September. Konsensus pasar memperkirakan bahwa inflasi akan melambat menjadi 3,6% (year on year) pada September, dibandingkan dengan 3,7% pada Agustus 2023. Ini adalah hal yang tak biasa, karena harga emas biasanya mengalami volatilitas dan melemah menjelang pengumuman inflasi. Jika inflasi benar-benar melandai, ada kemungkinan bahwa bank sentral AS, The Federal Reserve (The Fed), akan melonggarkan kebijakan suku bunga. Sebaliknya, jika inflasi melaju lebih kencang dari ekspektasi pasar, The Fed mungkin akan sulit untuk melonggarkan kebijakan suku bunganya.

Inflasi AS terus mengalami perubahan dari puncaknya pada Juni 2022 (9,1%), kemudian melandai, naik kembali pada Juli dan Agustus tahun ini. Inflasi inti, yang tidak termasuk harga pangan dan energi, juga mengalami fluktuasi akibat perang Rusia-Ukraina, dan diperkirakan melambat menjadi 4,1% (year on year) pada September 2023 dari 4,3% pada Agustus. Secara bulanan, inflasi diprediksi mencapai 0,3%, lebih rendah dibandingkan dengan 0,6% di bulan Agustus. Sebelum pengumuman inflasi, AS juga mengumumkan indeks harga produsen (IHP), yang mengalami penurunan menjadi 0,5% dibandingkan dengan bulan Agustus yang berada di level 0,7%. Meskipun mengalami penurunan, IHP tetap berada di atas konsensus pasar yakni 0,3%. – PT KP Press

Sumber : cnbcindonesia.com