PT Kontakperkasa Futures – Harga emas, salah satu aset investasi yang selalu menjadi sorotan, terus menunjukkan fluktuasi yang cukup signifikan. Pada perdagangan Selasa (24/10/2023), harga emas di pasar spot ditutup pada posisi US$ 1.970,11 per troy ons. Ini menandai penurunan sebesar 0,13% dalam satu hari, yang memperpanjang tren negatif harga emas yang juga merosot sebesar 0,43% pada perdagangan Senin sebelumnya. Namun, patut dicatat bahwa sebelumnya, emas mengalami penguatan mencapai 3,2% selama empat hari berturut-turut. Saat ini, pertanyaan yang muncul adalah: Apakah harga emas masih memiliki peluang untuk mencapai US$ 2.000 per ons?
Penurunan harga emas kemarin dipicu oleh penguatan dolar Amerika Serikat (AS) dan kenaikan imbal hasil US Treasury. Imbal hasil US Treasury 10 tahun melonjak hingga mencapai 4,84%, sedikit lebih tinggi dari sebelumnya yang berada di posisi 4,934%. Ini adalah level tertinggi dalam 16 tahun terakhir. Sementara itu, indeks dolar AS juga menguat dengan mencapai 106,27, yang lebih tinggi dibandingkan dengan penutupan sehari sebelumnya yakni 105,54. Kenaikan dolar AS membuat emas semakin mahal untuk dibeli, membuatnya menjadi semakin tidak terjangkau untuk tujuan investasi. Selain itu, emas tidak memberikan imbal hasil, sehingga dengan kenaikan imbal hasil US Treasury, emas menjadi kurang menarik bagi investor.
Analis dari Kitco Metals, Jim Wyckoff, menjelaskan bahwa pelemahan harga emas masih dipicu oleh aksi profit taking. Wyckoff menyatakan bahwa “Level US$ 2.000 masih terbuka bagi emas dalam jangka pendek. Emas bahkan masih berpeluang untuk mencapai rekor tertinggi jika terjadi eskalasi di Timur Tengah.”
Harga emas telah mengalami kenaikan yang signifikan dalam dua pekan terakhir, naik sekitar 9%, dan bahkan sempat menembus rekor tertinggi dalam lima bulan pada pekan sebelumnya. Ketegangan geopolitik di Timur Tengah menjadi salah satu pemicu kenaikan harga emas. Chris Mancini, seorang analis dari Gabelli Gold Fund, menyatakan bahwa pergerakan harga emas selanjutnya akan sangat dipengaruhi oleh suku bunga.
Namun, peningkatan suku bunga juga tidak selalu berarti buruk bagi harga emas. Jika suku bunga naik dan ekonomi AS mengalami gangguan, maka ada potensi resesi yang sebenarnya bisa menguntungkan emas. Mancini menjelaskan, “Jika ekonomi AS melemah, maka ada potensi resesi sehingga suku bunga bisa dipangkas dan harga emas akan naik.”
Saat ini, pasar sedang menunggu hasil rapat Federal Open Market Committee (FOMC) yang akan berlangsung pada 31 Oktober-1 November waktu AS atau 1-2 November waktu Indonesia. Ekspektasi pasar saat ini mengarah pada keputusan bank sentral AS, The Federal Reserve (The Fed), yang diperkirakan akan mempertahankan suku bunga.
Perangkat FedWatch Tool menunjukkan bahwa sekitar 6,8% pelaku pasar memperkirakan suku bunga akan tetap pada level 5,25-5,50% pada November mendatang. Artinya, hampir 100% pasar memprediksi bahwa suku bunga akan tetap tidak berubah. Ini adalah faktor penting yang akan memengaruhi arah harga emas dalam waktu dekat.
Secara keseluruhan, harga emas saat ini tengah menghadapi tekanan akibat penguatan dolar AS dan kenaikan imbal hasil US Treasury. Namun, masih ada faktor-faktor lain, seperti ketegangan geopolitik di Timur Tengah dan potensi resesi di AS, yang dapat mempengaruhi arah harga emas dalam jangka panjang. Bagi para investor, penting untuk terus memantau perkembangan pasar dan berhati-hati dalam mengambil keputusan investasi terkait emas. – PT Kontakperkasa Futures
Sumber : cnbcindonesia.com